Rabu, 04 Juni 2014

Qanun Tentang Gampong

Qanun tentang Gampong
Sebenarnya, sejak dahulu keberadaan gampong diakui di Aceh tetapi dalam konteks adat. tujuan keberadaan gampong, yang saat itu merupakan nama lain dari desa, merupakan romantisme sejarah saja. Dalam kenyataannya, dalam hal pelaksanaan, gampong tidak ada bedanya dengan desa. Oleh sebab itu, gampong dulu hanya istilah lain dari desa. Padahal, ada perbedaan substansial antara Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula. Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan : ”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam Pasal 10 Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah (bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah. Namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah setara dengan Keuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda. Begitu juga dengan bidang legislatif. Dalam Gampong secara tegas dibatasi bahwa unsur legislatif adalah di luar badan eksekutif. Kepala bagian pemerintahan Mukim dan Gampong, Biro Pemerintahan Setda Aceh, Kamaruddin Andalah, M.Si., mengatakan bahwa Tuha Peut adalah unsur legislatif di Gampong.
Ini sejalan dengan Pasal 1 (7) Qanun Nomor 5 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong atau nama lain adalah Badan Perwakilan Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong. Jadi, Tuha Peut Gampong biasanya dipilih dari berbagai unsur. Unsur pemerintahan diambil biasanya orang yang sudah menjabat sebagai Keuchik atau orang yang sudah pernah terlibat dalam Pemerintahan Gampong. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban. Dalam kepemimpinan Keuchik, pertanggungjawaban dilakukan kepada masyarakat. Dalam kenyataan, biasanya hal itu dilaksanakan melalui Tuha Peut.

Diperlukan Rekonstruksi
Di Aceh sendiri, pada awal reformasi tuntutan untuk kembali kepada sistem pemerintahan gampong semakin keras terdengar walaupun banyak yang masih gamang, terutama tentang bentuk pemerintahan gampong itu sendiri. Tetapi kini proses itu sudah bisa dirasakan lebih lancar karena Aceh sudah memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh atau yang dikenal dengan nama Undang Undang Nomor 11 tahun 2006.
Dengan adanya undang-undang yang lahir karena adanya proses damai di Aceh ini, pelaksanaan sistem pemerintahan di Aceh akan lebih unik dan lebih spesifik karena memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan karakter daerahnya. Sebagai contoh, kini secara perlahan sistem pemerintahan kelurahan yang ada di Aceh mulai diubah ke sistem pemerintahan gampong.
Pasal 267 (1) UU nomor 11 tahun 2006 menyebutkan bahwa kelurahan di provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi gampong atau nama lain dalam kabupaten/kota. Pasal ini menunjukkan bahwa kini Aceh memang memiliki ciri khas tersendiri dalam sisi pemerintahannya. (Hns Jl)

0 komentar:

Posting Komentar