Qanun tentang Gampong
Sebenarnya, sejak dahulu keberadaan gampong diakui di Aceh tetapi
dalam konteks adat. tujuan keberadaan gampong, yang saat itu merupakan nama lain
dari desa, merupakan romantisme sejarah saja. Dalam kenyataannya, dalam
hal pelaksanaan, gampong tidak ada bedanya dengan desa. Oleh sebab itu,
gampong dulu hanya istilah lain dari desa. Padahal, ada perbedaan
substansial antara Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta
perangkat dan lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya
Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, paradigma itupun kemudian berubah. Gampong
kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam
struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri
serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula. Dalam Pasal
1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan : ”Gampong atau nama lain,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati
wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam
Pasal 10 Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong
terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Keuchik
adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem
demokrasi dari bawah (bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam
Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik
dan Teungku Imuem Meunasah dengan urusan yang berbeda. Di gampong,
Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah. Namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah setara dengan
Keuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda. Begitu juga
dengan bidang legislatif. Dalam Gampong secara tegas dibatasi bahwa
unsur legislatif adalah di luar badan eksekutif. Kepala bagian
pemerintahan Mukim dan Gampong, Biro Pemerintahan Setda Aceh, Kamaruddin
Andalah, M.Si., mengatakan bahwa Tuha Peut adalah unsur legislatif di
Gampong.
Ini sejalan dengan Pasal 1 (7) Qanun Nomor 5 tahun 2003 yang
menyebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong atau nama lain adalah Badan
Perwakilan Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka
masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong. Jadi, Tuha Peut
Gampong biasanya dipilih dari berbagai unsur. Unsur pemerintahan diambil
biasanya orang yang sudah menjabat sebagai Keuchik atau orang yang
sudah pernah terlibat dalam Pemerintahan Gampong. Demikian halnya dengan
pertanggungjawaban. Dalam kepemimpinan Keuchik, pertanggungjawaban
dilakukan kepada masyarakat. Dalam kenyataan, biasanya hal itu
dilaksanakan melalui Tuha Peut.
Diperlukan Rekonstruksi
Di Aceh sendiri, pada awal reformasi tuntutan untuk kembali kepada
sistem pemerintahan gampong semakin keras terdengar walaupun banyak yang
masih gamang, terutama tentang bentuk pemerintahan gampong itu sendiri.
Tetapi kini proses itu sudah bisa dirasakan lebih lancar karena Aceh
sudah memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh atau yang dikenal dengan
nama Undang Undang Nomor 11 tahun 2006.
Dengan adanya undang-undang yang lahir karena adanya proses damai di
Aceh ini, pelaksanaan sistem pemerintahan di Aceh akan lebih unik dan
lebih spesifik karena memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan
karakter daerahnya. Sebagai contoh, kini secara perlahan sistem
pemerintahan kelurahan yang ada di Aceh mulai diubah ke sistem
pemerintahan gampong.
Pasal 267 (1) UU nomor 11 tahun 2006 menyebutkan bahwa kelurahan di
provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi gampong atau nama lain
dalam kabupaten/kota. Pasal ini menunjukkan bahwa kini Aceh memang
memiliki ciri khas tersendiri dalam sisi pemerintahannya. (Hns Jl)
0 komentar:
Posting Komentar